THEORIES OF MOTIVATION
Sumber:
Gerald Ngugi
KIMANI. 2005. Educational
Management. African
Virtual University: CC.Some Rights Reserved
Unit 3 (27-36)
BAB I
PENDAHULUAN
Motivasi
merupakan suatu keadaan atau kondisi yang mendorong, merangsang atau
menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu atau kegiatan yang dilakukannya
sehingga ia dapat mencapai tujuannya. Menurut J.P. Chaplin
Motivasi adalah suatu variabel perantara yang digunakan untuk menerangkan
faktor-faktor dalam diri individu, yang dapat membangkitkan, mempertahankan dan
menyalurkan tingkah laku kearah suatu tujuan tertentu.
Motivasi berhubungan
dengan kekuatan (dorongan) yang berada di dalam diri manusia. Motivasi tidak
dapat terlihat dari luar. Motivasi dapat menggerakkan manusia untuk menampilkan
suatu tingkah laku kearah pencapaian suatu tujuan. Tingkah laku dapat dilandasi
oleh berbagai macam motivasi. Tiga kategori MOTIF :
1.
Motif Primer:
ü Dibawa
sejak lahir & bukan hasil proses belajar
ü Faali/psikologis
ü Kebutuhan
untuk makan & minum
2.
Motif Umum:
ü Dibawa
sejak lahir & bukan hasil proses belajar
ü Tidak
berhubungan dengan proses faali tubuh manusia
ü Kebutuhan
kasih sayang, rasa ingin tahu & diperhatikan.
3.
Motif Sekunder:
ü Tumbuh
sebagai hasil proses belajar
ü Tidak
berhubungan dengan proses faali
ü Kebutuhan
berprestasi & berkuasa
Kata motif seringkali
diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan
gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving
force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku, dan di dalam
perbuatanya itu mempunyai tujuan tertentu. Tidak bisa dipungkiri, setiap
tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu di mulai dengan motivasi (niat).
Didalam
makalah ini akan disajikan tentang: (i) Mengidentifikasi dua kategori teori
motivasi. (ii) Menjelaskan teori motivasi dalam setiap kategori. (iii) Menjelaskan
kontribusi masing-masing teori terhadap manajemen pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Teori
Motivasi
Secara garis besarnya, teori motivasi
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu teori isi (content theory) dan
teori
proses (process theory).
A.
Teori
Isi (content theory)
Profil kebutuhan yang dimiliki oleh
seseorang yang mendasari perilakunya. Teori isi terdiri dari 3 teori pendukung,
yaitu :
1.
Teori
Hirarki Kebutuhan 1943-1970 (A. Maslow)
Yang dikembangkan oleh Abraham H.Maslow
pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau
hierarki kebutuhan, yaitu :
- Fisiologis:
Kebutuhan yang paling bawah, dorongan kuat pada diri manusia untuk survive
(makan, minum & oksigen)
- Keamanan:
Standar hidup, jaminan, takut kehilangan pekerjaan
- Sosial:
Kebutuhan untuk dicintai & mencintai, merasa bagian dari suatu
kelompok (diterima disuatu kelompok), persahabatan & keakraban.
- Penghargaan:
Cukup dipandang, memberikan kontribusi pada orang lain, status &
penghargaan.
- Aktualisasi diri:
Perasaan bahwa pekerjaan yang dilakukan menghasilkan prestasi (senseof
accomplishment).
Menurut maslow, jika seorang pimpinan
ingin memotivasi seseorang, maka ia perlu memahami sedang berada pada anak
tangga manakah posisi bawahan dan memfokuskan pada pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan itu atau kebutuhan dia atas tingkat itu.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama
(fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara
lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang
lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat
klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan
intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena
manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu
tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental,
intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan
makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin
mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional,
teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami
“koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep
“hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat
diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya
ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada
pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan
kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat
pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan
diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman
tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi”
dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena
pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia
berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik,
seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai,
memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian
dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
- Kebutuhan yang satu saat sudah
terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
- Pemuasaan berbagai kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan
kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
- Berbagai kebutuhan tersebut tidak
akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana
seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori
kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi
dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada
kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
Dua dalil utama dapat disimpulkan dari
Teori Hirarki Kebutuhan Maslow yaitu: a) Kebutuhan kepuasan bukanlah motivator
suatu perilaku, b) Bila kebutuhan yang lebih rendah telah terpenuhi maka,
kebutuhan yang lebih tinggi akan menjadi penentu perilakunya (Hamner dan Organ,
2005: 139). Jika pekerjaan telah memenuhi beberapa kebutuhan yang lebih tinggi
maka hal tersebut akan menentukan dalam motivasi kerja. Tingkat aspirasi sangat
berhubungan erat dengan hirarki kebutuhan, dan sikap akan menentukan jalan yang
akan ditempuh seseorang untuk pencapaian kebutuhannya (Haiman, 2003, 219).
Kategori kebutuhan yang paling pokok yang dikemukakan Maslow adalah aktualisasi
diri. Keyakinan akan hal ini merupakan dasar asumsi teori Y McGregor tentang
motivasi yang didasarkan pada pengaturan diri, pengendalian diri, motivasi dan
kematangan (McGregor, 2000:47).
2.
Teori
Herzberg (1966)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah
memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Menurut
Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha
mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasanTeori yang
dikembangkannya dikenal dengan “Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu Faktor
Motivasional dan Faktor Hygiene atau “Pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor
motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik,
yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan
faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik
yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang
dalam kehidupan seseorang.
Herzberg memandang bahwa kepuasan kerja
berasal dari keberadaan motivator intrinsik dan bawa ketidak puasan kerja
berasal dari ketidakberadaan faktor-faktor ekstrinsik. Faktor-faktor
ekstrinsik (konteks pekerjaan) meliputi :
1. Upah
2. Kondisi kerja
3. Keamanan kerja
4. Status
5. Prosedur
perusahaan
6. Mutu penyeliaan
7. Mutu hubungan
interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan, dan bawahan
Keberadaan kondisi-kondisi ini terhadap
kepuasan karyawan tidak selalu memotivasi mereka. Tetapi ketidakberadaannya
menyebabkan ketidakpuasan bagi karyawan, karena mereka perlu mempertahankan
setidaknya suatu tingkat ”tidak ada kepuasan”, kondisi ekstrinsik disebut
ketidakpuasan,atau faktor hygiene. Faktor Intrinsik meliputi :
1. Pencapaian
prestasi
2. Pengakuan
3. Tanggung Jawab
4. Kemajuan
5. Pekerjaan itu
sendiri
6. Kemungkinan
berkembang.
Tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan
berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas. Tetapi jika ada, akan membentuk
motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh karena itu,
faktor ekstrinsik tersebut disebut sebagai pemuas atau motivator.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai
faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang
diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain.
Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status
seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya,
hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang
diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam
organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan
menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang
lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat
intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
3.
Teori
ERG
Teori ini merupakan pengembangan dari
teori hierarki kebutuhan Maslow oleh Clayton Alderfer agar lebih bisa
diterapkan dalam penelitian empiris. Revisi atas hierarki kebutuhan itu
disebut teori ERG. Alderfer menyatakan bahwa ada tiga kelompok utama
kebutuhan, existence, relatedness,
dan growth (ERG). Kelompok existence
berkaitan dengan penyediaan kebutuhan eksistensi bahan baku. Di sini existence
dapat disejajarkan dengan kebutuhan physiological dan safety dari
Maslow. Kelompok kedua adalah kebutuhan relatedness, yaitu hasrat
yang dimiliki untuk mempertahankan hubungan penting dengan orang lain.
Hasrat sosial dan status ini memerlukan interaksi dengan orang lain jika ingin
dipuaskan, dan ini dapat disejajarkan dengan kebutuhan social/love
Maslow dan komponen eksternal dari kelompok esteem Maslow.
Terakhir, Alderfer memisahkan kebutuhan growth, yaitu suatu hasrat
intrinsik untuk pengembangan pribadi. Ini antara lain adalah komponen
intrinsik dari kategori esteem Maslow dan karakteristik yang termasuk ke
dalam self-actualization.
Tampaknya teori ERG ini hanya menggantikan
lima kebutuhan menjadi tiga kebutuhan saja. Namun demikian, yang
membedakan teori ini dari teori hierarki kebutuhan Maslow adalah bahwa teori
ERG ini menunjukkan bahwa (1) lebih dari satu kebutuhan akan berjalan pada
waktu yang sama, dan (2) jika pemenuhan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi
itu mandeg, keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih rendah semakin
meningkat.
Lebih lanjut, teori ERG ini tidak
berasumsi bahwa terdapat suatu hierarki yang kaku sehingga kebutuhan yang lebih
rendah itu harus dipuaskan lebih dahulu sebelum bergerak ke tingkat yang lebih
tinggi. Seseorang dapat saja bekerja untuk tingkat growth walaupun
kebutuhan existence dan relatedness belum terpuaskan; atau bisa
saja ketiga kelompok kebutuhan itu berjalan pada waktu yang bersamaan.
Teori ERG juga melibatkan dimensi
halangan-kemunduran (frustration-regression). Tidak seperti teori
Maslow, teori ERG menyatakan bahwa bila tingkat kebutuhan yang peringkatnya
lebih tinggi itu terhalang, hasrat seseorang untuk meningkatkan kepuasan ke
tingkat yang lebih rendah akan lebih menggebu. Ketidak-mampuan untuk
memenuhi kebutuhan interaksi sosial, misalnya, akan meningkatkan keinginan
untuk mendapatkan uang lebih banyak atau kondisi kerja yang lebih baik.
Dengan demikian, halangan atau frustasi tersebut dapat mengarah pada kemunduran
atau regresi ke suatu kebutuhan yang lebih rendah.
Singkatnya, teori ERG ini menyatakan,
seperti halnya Maslow, bahwa kebutuhan peringkat-rendah yang telah terpuaskan
itu akan mengarah pada keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang peringkatnya
lebih tinggi. Namun, berbagai kebutuhan dapat bertindak sebagai motivator
secara bersamaan, dan frustasi dalam mencoba untuk memuaskan kebutuhan yang
peringkatnya lebih tinggi dapat mengakibatkan kemunduran pada suatu kebutuhan
yang peringkatnya lebih rendah.
Dalam hal ini, teori ERG bersifat lebih
konsisten dengan pengetahuan mengenai perbedaan individu di antara
manusia. Variabel-variabel seperti pendidikan, latar belakang pendidikan,
dan lingkungan budaya dapat mengubah tingkat kepentingan atau pemicu (driving
force) suatu kelompok kebutuhan bagi individu tertentu. Secara
keseluruhan, teori ERG ini menunjukkan versi hierarki kebutuhan secara lebih
valid.
Tabel berikut menggambarkan suatu
reorganisasi dari Hierarki Maslow dan Alderfer.
Tingkat
|
Introvert
|
Extrovert
|
Growth
|
Aktualisasi Diri (pengembangan kompetensi
[pengetahuan, sikap, dan keterampilan] dan karakter)
|
Transcendence (membantu dalam mengembangkan
kompetensi dan karakter orang lain)
|
Relatedness (Lainnya)
|
Identifikasi pribadi dengan kelompok dan orang lain
(Belongingness, Social/Love)
|
Nilai seseorang oleh kelompok (Esteem)
|
Existence (Diri)
|
Fisiologis, biologis(termasuk kebutuhan emosional
utama)
|
Keterkaitan, keamanan
|
B.
Teori
Proses (process theory).
Proses yang terjadi dalam pikiran
seseorang yang pada akhirnya membuat orang menampilkan tingkah laku. Teori ini
juga terdiri dari beberapa teori pendukung, yaitu :
1.
Teori
Harapan Vroom (1964)
Teori harapan merupakan teori yang paling
baik dipandang tentang menjelaskan motivasi seseorang dalam kehidupan
organisasinya, walaupun teori motivasi memiliki kelemahan dan kelebihan.
Kuatnya kecenderungan seseorang bertindak dengan cara tertentu bergantung pada
kekuatan harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu
dan pada daya tarik dari hasil itu bagi orang yang bersangkutan. Teori pengharapan yang dikembangkan oleh
Vroom (dalam Jewell & Siegall, 1989) menyatakan bahwa penghargaan yang
dihasilkan oleh usaha dalam suatu aktivitas tertentu akan membawa hasil yang
diinginkan yang menentukan motivasi kerja dan terdapat empat variabel yang
saling berinteraksi untuk menghasilkan tingkat usaha tertentu. Keempat variabel
itu adalah:
a.
Pengharapan
usaha-untuk kerja, dimana keyakinan bahwa usaha akan
menghasilkan unjuk kerja, hal ini dinyatakan dalam pernyataan formal sebagai
kemungkinan yang berkisar dari nol sampai satu. Kemungkinan ini sangat
dipengaruhi oleh persepsi seseorang mengenai pengetahuan dan keahlian yang berhubungan
dengan pekerjaannya dan oleh dukungan yang diberikan oleh teman kerja, kondisi
kerja, dan lain-lain.
b.
Pengharapan
untuk kerja-hasil kerja, dimana keyakinan unjuk kerja akan
diikuti oleh hasil langsung tertentu. Dalam hal ini termasuk kenaikan upah,
promosi, dan pengakuan atas keberhasilan yang telah dicapai dalam pekerjaan.
c.
Instrumentalitas,
dimana keyakinan bahwa terdapat hubungan antara kegunaab suatu perilaku
(misalnya bekerja lembur) dengan hasil kerja (dalam hal ini berupa imbalan atau
uang). Dapat diartikan bahwa perkiraan usaha pribadi seseorang mempunyai
instrumentalis yang tinggi (faktor pertama) untuk mencapai hasil kerja yang
bernilai, seperti imbalan atau uang (faktor kedua). Instrumentalitas sesuai
dengan hasil tingkat kedua (kondisi yang dikehendaki yang tidak datang langsung
dari kerja), tetapi dimungkinkan oleh hasil langsung perilahu kerja.
d.
Nilai,
dimana lebih merujuk pada bagaimana menariknya hasil kerja bagi seseorang.
Misalnya kenaikan upah yang diikuti oleh promosi. Kenaikan upah mempunyai arti
atau nilai yang tinggi bagi seseorang karena ia bekerja dengan keras untuk mendapatkan
penilaian kerja yang baik, dengan demikian standar kehidupannya akan lebih baik
dari sebelumnya. Lain halnya dengan promosi yang mempunyai nilai yang negatif
bagi orang tersebut, karena akan menuntut jam kerja yang lebih panjang dalam
menyelesaikan tugasnya.
Dalam hal ini Victor Vroom (1994) yang
pertama kali mengemukakan teori harapan secara konseptual dengan mengajukan
persamaan sebagai berikut :
Motivasi
= Harapan x Valensi x Instrumen (Waditra) atau M = H x V x I
Motivasi
= Upaya Kinerja x Penjumlahan dari (Hasil Kinerja) (Valensi)
Atau
dalam bentuk rumus menjadi : M = UK x S(KH) x (V)
UK
= Upaya Kinerj
KH
= Kinerja Hasil
V = Valensi
Harapan
|
Instrumen
|
Valensi
|
Kemungkinan melakukan tugas untuk
mencapai target kinerja
|
Kemungkinan melakukan tugas untuk
mencapai target kinerja
|
Kemungkinan melakukan tugas untuk
mencapai target kinerja
|
Vroom (dalam Robbins, 2006) mengatakan
bahwa intensitas kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu sangat
bergantung pada intensitas pengharapan. Dapat diartikan bahwa karyawan
ditingkatkan motivasinya untuk melakukan usaha yang lebih keras apabila
meyakini bahwa usaha itu akan menghasilkan penilaian kinerja yang baik. Dengan
demikian, penilaian kinerja yang baik karyawan berharap akan mendapatkan
imbalan dari perusahaan berupa kenaikan upah, bonus, atau promosi. Singkatnya
teori ini berfokus pada tiga hubungan, yaitu:
1)
Hubungan
antara upaya dengan kinerja. Individu mempunyai persepsi bahwa
sejumlah usaha yang dikeluarkan akan meningkatkan kinerja
2)
Hubungan
antara kinerja dengan imbalan. Individu meyakini bahwa
berkinerja pada suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu hasil
yang diinginkan
3) Hubungan
antara imbalan dengan sasaran pribadi. Sejauh mana imbalan
dari organisasi memuaskan tujuan atau kebutuhan pribadi seorang individu dan
seberapa besar daya tarik imbalan tersebut bagi yang bersangkutan.
Ketiga hubungan diatas dapat diartikan
sebagai pemahaman terhadap sasaran individu dalam hubungannya antara upaya
dengan kinerja, kinerja dengan imbalan, dan imbalan dengan dipuaskannya dari
masing-masing sasaran.
2.
Teori
Equity
Menurut teori ini bahwa kepuasan seseorang
tergantung apakah ia merasakan ada keadilan (equity) atau tidak adil (unequity)
atas suatu situasi yang dialaminya. Teori ini merupakan variasi dari teori
perbandingan sosial. Komponen utama dari teori ini adalah:
a.
Input
Yaitu sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti : pendidikan, pengalaman, kecakapan, banyaknya usaha yang dicurahkan, jumlah jam kerja, dan peralatan pribadi yang dipergunakan untuk pekerjaannya
Yaitu sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti : pendidikan, pengalaman, kecakapan, banyaknya usaha yang dicurahkan, jumlah jam kerja, dan peralatan pribadi yang dipergunakan untuk pekerjaannya
b.
Hasil (outcomes)
Adalah
sesuatu vang dianggap bernilai oleh seorang pekerja yang diperoleh dari
pekerjaannya, seperti gaji, keuntungan sampingan, simbol status, penghargaan,
serta kesempatan untuk berhasil atau ekspresi diri.
c.
Orang bandingan
(comparison person)
Bisa
berupa seseorang di perusahaan yang sama atau di tempat lain bahkan bisa pula
dengan dirinya sendiri terhadap pekerjaannya di waktu lampau.
Menurut teori
ini, seseorang akan membandingkan rasio input- hasil dirinya dengan rasio
input-hasil-orang bandingan. Jika perbandingan itu dianggapnya cukup adil, maka
ia akan merasa puas. Namun jika perbandingan itu tidak seimbang dan justru
merugikan (kompensasi kurang), akan menimbulkan ketidakpuasan dan menjadi motif
tindakan bagi seseorang untuk menegakkan keadilan
Ada bermacam
cara seorang karyawan berusaha menegakkan keadilan, yaitu :
a) Meningkatkan atau
mengurangi input-input pribadi, khususnya usaha membujuk orang bandingan untuk
meningkatkan atau mengurangi input-input pribadinya.
b) Membujuk organisasi
untuk merubah hasil perseorangan pekerja atau hasil orang bandingan.
c) Pengabaian
psikologis terhadap input-input atau hasil-hasil orang bandingan.
d) Memilih orang
bandingan yang lain.
Bagaimana
seseorang berusaha menurunkan ketidakadilan akan ditentukan oleh sifat selisih
hasil dan input serta biaya relatif reaksi alternatif dalam situasi tertentu.
Teori keadilan memiliki implikasi terhadap pelaksanaan kerja para karyawan
disamping terhadap kepuasan kerja. Teori ini meramalkan bahwa seorang karyawan
akan mengubah input usahanya jika tindakan ini lebih layak dari pada reaksi
lainnya terhadap ketidakadilan.
Adapun
kelemahan teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan orang juga ditentukan oleh
perbedaan individu (misalnya saja pada waktu seseorang ditanya jumlah gaji yang
diinginkan saat melamar pekerjaan). Selain itu tidak liniernya hubungan antara
besarnya kompensasi dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan
kenyataan. Implikasi ketidakadilan terhadap pelaksanaan kerja juga belum menunjukkan
kesimpulannya. Kebanyakan studi memiliki kelemahan metodologis atau lainnya dan
terlalu singkat kurun waktu untuk mengevaluasi segala hal, kecuali
akibat-akibat jangka pendek ketidakadilan terhadap pelaksanaan kerja.
Untuk masa
sekarang teori keadilan tampaknya kurang bermanfaat untuk meramalkan usaha dan
pelaksanaan kerja dibanding dengan meramalkan apakah karyawan akan kecewa
dengan aspek-aspek pekerjaan tertentu yang mungkin sekali dijadikan
perbandingan sosial, seperti gaji, promosi, penghargaan, serta simbol status.
3.
Goal
Setting Theory
Teori penetapan tujuan atau goal setting
theory awalnya dikemukakan oleh Dr. Edwin Locke pada akhir tahun 1960. Lewat
publikasi artikelnya ‘Toward a Theory of Task Motivation and Incentives’
tahun 1968, Locke menunjukkan adanya keterkaitan antara tujuan dan kinerja
seseorang terhadap tugas.
Dia menemukan bahwa tujuan spesifik dan sulit
menyebabkan kinerja tugas lebih baik dari tujuan yang mudah. Beberapa tahun
setelah Locke menerbitkan artikelnya, penelitian lain yang dilakukan Dr. Gary
Latham, yang mempelajari efek dari penetapan tujuan di tempat kerja.
Penelitiannya mendukung persis apa yang
telah dikemukakan oleh Locke mengenai hubungan tak terpisahkan antara penetapan
tujuan dan kinerja. Pada tahun 1990, Locke dan Latham menerbitkan karya bersama
mereka, ‘A Theory of Goal Setting and Task Performance’.
Dalam buku ini, mereka memperkuat argumen
kebutuhan untuk menetapkan tujuan spesifik dan sulit.
Lima Prinsip
Penetapkan Tujuan antara lain:
1) Kejelasan
Tujuan harus
jelas terukur, tidak ambigu, dan ada jangka waktu tertentu yang ditetapkan
untuk penyelesaian tugas. Manfaatnya ketika ada sedikit kesalahpahaman dalam
perilaku maka orang masih akan tetap menghargai atau toleran. Orang tahu apa
yang diharapkan, dan orang dapat menggunakan hasil spesifik sebagai sumber
motivasi.
2) Menantang
Salah satu
karakteristik yang paling penting dari tujuan adalah tingkat tantangan. Orang
sering termotivasi oleh prestasi, dan mereka akan menilai tujuan berdasarkan
pentingnya sebuah pencapaian yang telah diantisipasi. Ketika orang tahu bahwa
apa yang mereka lakukan akan diterima dengan baik, akan ada motivasi alami
untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Dengan catatan sangat penting untuk
memperhatikan keseimbangan yang tepat antara tujuan yang menantang dan tujuan
yang realistis.
3) Komitmen
Tujuan harus
dipahami agar efektif. Karyawan lebih cenderung memiliki tujuan jika mereka
merasa mereka adalah bagian dari penciptaan tujuan tersebut. Gagasan manajemen
partisipatif terletak pada ide melibatkan karyawan dalam menetapkan tujuan dan
membuat keputusan. Mendorong karyawan untuk mengembangkan tujuan-tujuan mereka
sendiri, dan mereka menjadi berinisiatif memperoleh informasi tentang apa yang
terjadi di tempat lain dalam organisasi. Dengan cara ini, mereka dapat yakin
bahwa tujuan mereka konsisten dengan visi keseluruhan dan tujuan perusahaan.
4) Umpan balik (feedback)
Umpan balik
memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi harapan, menyesuaikan kesulitan
sasaran, dan mendapatkan pengakuan. Sangat penting untuk memberikan kesempatan
benchmark atau target, sehingga individu dapat menentukan sendiri bagaimana
mereka melakukan tugas.
5) Kompleksitas
Tugas
Faktor
terakhir dalam teori penetapan tujuan memperkenalkan dua persyaratan lebih
untuk sukses. Untuk tujuan atau tugas yang sangat kompleks, manajer perlu
berhati-hati untuk memastikan bahwa pekerjaan tidak menjadi terlalu berlebihan.
Orang-orang
yang bekerja dalam peran yang kompleks mungkin sudah memiliki motivasi tingkat
tinggi. Namun, mereka sering mendorong diri terlalu keras jika tindakan tidak
dibangun ke dalam harapan tujuan untuk menjelaskan kompleksitas tugas, karena
itu penting untuk memberikan orang waktu yang cukup untuk memenuhi tujuan atau
meningkatkan kinerja.
Sediakan
waktu yang cukup bagi orang untuk berlatih atau mempelajari apa yang diharapkan
dan diperlukan untuk sukses. Inti dari penetapan tujuan adalah untuk
memfasilitasi keberhasilan. Oleh karena itu pastikan bahwa kondisi sekitar
tujuan tidak menyebabkan frustrasi atau menghambat orang untuk mencapai tujuan
mereka.
Penentuan
tujuan adalah sesuatu yang diperlukan untuk kesuksesan. Dengan pemahaman teori
penetapan tujuan, kemudian dapat secara efektif menerapkan prinsip-prinsip
untuk tujuan yang akan ditetapkan.
II.
Teori
Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Padahal
dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang
ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan
tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut
berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam
hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan
bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi
yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku
yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh
yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya
dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari
atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena
juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong
bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha
meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer
sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan
mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh
sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat
teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi
indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi
negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu
datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting
untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi
perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu
diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi
pula.
III. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik
tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam
arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus
menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti
menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model.
Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah
apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang
individu .
Menurut
model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal
adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c)
harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g)
prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan
faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis
dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c)
organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem
imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
BAB
III
KESIMPULAN
Motivasi
merupakan suatu keadaan atau kondisi yang mendorong, merangsang atau
menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu atau kegiatan yang dilakukannya
sehingga ia dapat mencapai tujuannya.
Secara
garis besarnya, teori motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu teori
isi (content theory) dan teori proses (process
theory).
No
|
Teori Isi (content theory)
|
Teori Proses (process theory).
|
1
|
Teori Hirarki Kebutuhan 1943-1970 (A. Maslow) : Pada intinya
berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki
kebutuhan. Meliputi 1) Fisiologis 2) Keamanan 3) Sosial 4) Penghargaan 5)
Aktualisasi Diri
|
Teori Harapan Vroom: Teori harapan
merupakan teori yang paling baik dipandang tentang menjelaskan motivasi
seseorang dalam kehidupan organisasinya, walaupun teori motivasi memiliki
kelemahan dan kelebihan.
|
2
|
Teori Herzberg (1966), Merupakan dua faktor yang mendorong seseorang untuk
berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan.
|
Teori Equity : Bahwa kepuasan seseorang tergantung
apakah ia merasakan ada keadilan (equity) atau tidak adil (unequity)
atas suatu situasi yang dialaminya
|
3
|
Teori ERG : Teori ini merupakan pengembangan dari
teori hierarki kebutuhan Maslow oleh Clayton Alderfer agar lebih bisa diterapkan
dalam penelitian empiris
|
Goal Setting Theory : Bahwa
tujuan-tujuan yang sifatnya spesifik atau sulit cenderung menghasilkan
kinerja yang lebih tinggi.
|
Berbagai
teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai
model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan
persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya
pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Bertitik
tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam
arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus
menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti
menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model.
Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah
apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang
individu .
DAFTAR
PUSTAKA
Duttweiler, Patricia C., 2006. Educational
Excellence and Motivating Teachers. Eric Journal The Clearinghouse. Dwi, Bambang, 2011, Analisis pengaruh
Motivasi kerja, Komitmen Karyawan dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan.
Hersey, Paul and Ken Blanchard, 2002. Management
of Organizational Behavior Utilizing Human Resources. Englewood Cliffs, NJ:
Prent ce-Hall.
Kast, Fremont E. and James E. Rosenzweig,
2005. Organization and Management: A Systems and Contingency Approach.
New York: McGraw-Hill Book Company,
Maslow, Abraham H., 1954. Motivation
and Personality. New York: Harper and Bros.
Mathis, Robert L. and John H. Jackson,
2007. Personnel Contemporary Perspectives and Applications. 2d ed. St.
Paul: West Publishing Company.
McClelland, David C. and Eric W Johnson,
2004. Learning to Achieve. Glenview, Illinois: Scotti. Foresman &
Co. McGregor, Douglas, 2000. The Piman
Side of Enterprise. New York: McGraw-Hill.
Robbins, Stephen, P., Judge Tymothy A.,
2015. Organizational Behavior, New Jersey, Pearson Education, Inc.
Suprayetno, Agus, 2006, Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan, dan
Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja
Perusahaan (studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia),
Universitas 17 Agustus 1945. Surabaya.
Supriyanto, 2005, Pengaruh Lingkungan
Kerja, Beban Kerja Dan Kompensasi Terhadap Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi
Dan Kinerja Petugas Air Traffic Control Pada PT Angkasa Pura I, Disertasi,
Universitas 17 Agustus 1945. Surabaya.
Stanton, Erwin S., 2003. A Critical
Reevaluation of Motivation, Management, and Productivity. Personnel Journal,
2003: 208-214. Verawati dan Utomo, 2011, Pengaruh Komitmen Organisasi,
Partisipasi dan Motivasi terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Bank Lippo Cabang
Kudus, Jawa Tengah.
Wahyudi Suryono, 2006, Analisis
Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan (studi pada kantor informasi, komunikasi, dan keluasan Kabupaten
Boyolali), Jawa Tengah.